Sri Sultan Hamengku Buwono V

Sri Sultan Hamengku Buwono V lahir pada tanggal 20 Januari 1821. Beliau merupakan putera Sri Sultan Hamengku Buwono IV dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencono yang diberi nama Gusti Raden Mas (GRM) Gatot Menol. Tahun 1823, ketika ayahandanya wafat, GRM Gatot Menol diangkat menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono V ketika baru menginjak usia 3 tahun. Tumbuh besar dengan perlakuan khusus antara perasaan iba dan tanggung jawab yang besar seperti itulah yang membentuk karakter beliau menjadi orang yang lemah lembut dan sebisa mungkin menghindari kekerasan.

 

Dikarenakan usia sultan yang masih sangat belia, maka dibentuk dewan perwalian untuk mendampingi tugas-tugas pemerintahan. Anggota dewan perwalian terdiri atas Ratu Ageng (nenek Sultan, yang juga permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono III), Ratu Kencono (ibu Sultan, permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono IV), Pangeran Mangkubumi (putra Sri Sultan Hamengku Buwono II) dan Pangeran Diponegoro. Para wali itu hanya mempunyai wewenang mengawasi keuangan keraton, sedangkan pelaksanaan pemerintahan keraton berada di tangan Patih Danurejo IV yang berada dalam pengawasan residen Belanda. Sama halnya dengan ayah beliau yang didampingi oleh dewan perwalian, Sri Sultan Hamengku Buwono V memegang kendali pemerintahan secara penuh pada tahun 1836 ketika usianya menginjak 16 tahun. Masa kepemimpinannya sempat digantikan sementara oleh kakek buyutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono II pada tahun 1826-1828.

 

Pada saat itu terjadi Perang Jawa akibat perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Banyak hal yang mengusik sang pangeran termasuk semakin banyak tanah-tanah keraton yang disewakan kepada orang Eropa, tingginya pajak yang ditarik dari masyarakat, munculnya wabah kolera, dan kondisi gagal panen yang dipandang sangat menyengsarakan. Ditambah sikap pegawai-pegawai Belanda banyak yang melecehkan keraton dengan memasukkan adat istiadat dan gaya hidup Eropa. Disebut ‘Perang Jawa’ karena Pangeran Diponegoro berhasil mengobarkan perlawanan yang menggerakkan hampir seluruh penduduk berbahasa jawa di Pulau Jawa bagian tengah dan selatan. Semakin besarnya kekuatan Diponegoro didukung pula oleh kelompok Islam yang terdiri atas para santri yang mengabdi di keraton (Suronatan, Suryagama), para pelajar dari pesantren-pesantren di wilayah perdikan, serta kelompok lain yang dibawa oleh Kyai Mojo yang menjadi pasukan Pangeran Diponegoro.

 

Pada tahun 1826 lebih dari 2000 pasukan bantuan datang dari Belanda. Pada tahun 1827 pemerintah kolonial dibawah pimpinan Jenderal De Kock berhasil mengurung Pangeran Diponegoro di wilayah pegunungan sempit antara Sungai Progo dan Sungai Bogowonto di Kabupaten Kulon Progo, Kedu Selatan dan Bagelen Timur. Pasukan Pangeran Diponegoro yang jumlahnya sudah menyusut dapat dikalahkan. Pada tanggal 28 Maret 1830, De Kock dengan segala cara berhasil menangkap Pangeran Diponegoro. Beliau bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang, kemudian dibawa ke Batavia untuk diasingkan di Manado dan berakhir di Makassar hingga beliau wafat pada tanggal 8 Januari 1855.

 

Dengan berakhirnya Perang Jawa, kondisi keamanan di Jawa berangsur lebih stabil. Sri Sultan Hamengku Buwono V kemudian lebih mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintah Hindia-Belanda agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah. Sri Sultan Hamengku Buwono V mengharapkan dengan dekatnya Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada kerja sama yang saling menguntungkan sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara. Selama masa damai di bawah kepemimpinannya pula, Sri Sultan Hamengku Buwono V kemudian lebih mencurahkan perhatiannya ke dalam pengembangan seni dan sastra.

 

Sri Sultan Hamengku Buwono V wafat pada tanggal 5 Juni 1855 (20 Pasa 1783 TJ), dimakamkan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri. Ketika beliau meninggal, permaisuri pertamanya GKR Kencono tidak berputera. Sementara itu, permaisuri kedua GKR Sekar Kedhaton yang sedang hamil belum menunjukkan tanda-tanda kelahiran. Maka dari itu tahta kerajaan kemudian dipegang oleh adik Sri Sultan Hamengkubuwono V, Raden Mas Mustojo, bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono VI.

 

Leave a comment