Uncategorized

Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Sri Sultan Hamengku Buwono IX dilahirkan pada tanggal 12 April 1912 dengan nama kecil (Gusti Raden Mas) Dorojatun. Beliau adalah putra kesembilan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit.

Masa muda GRM Dorojatun dihabiskan di luar lingkungan keraton. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menitipkan beliau ke pasangan Belanda. Semenjak berusia 4 (empat) tahun, beliau dititipkan di rumah keluarga Mulder, seorang kepala sekolah NHJJS (Neutrale Hollands Javanesche Jongen School). 

Pihak keluarga Mulder diberi pesan supaya mendidik GRM Dorojatun layaknya rakyat biasa. GRM Dorojatun diharuskan hidup mandiri, tanpa didampingi pengasuh. Nama keseharian beliaupun jauh dari kesan bangsawan keraton. Masa-masa sekolah beliau jalani di Yogyakarta, mulai dari Frobel School (taman kanak-kanak), lanjut ke Eerste Europe Lagere School B yang kemudian pindah ke Neutrale Europese Lagere School. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, beliau melanjutkan pendidikan ke Hogere Burgerschool di Semarang dan Bandung.

Setelah menyelesaikan Gymnasium beliau melanjutkan pendidikan di Leiden, Belanda. GRM Dorojatun mendalami ilmu hukum tata negara sambil aktif mengikuti klub debat yang dipimpin Profesor Schrieke. Pada masa pendidikan di Belanda ini pula beliau berkenalan dan kemudian menjadi sahabat karib Putri Juliana yang kelak akan menjadi Ratu Belanda.

Tahun 1939 peta politik dunia bergerak cepat. Tanda-tanda meletusnya Perang Dunia II semakin jelas. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memutuskan memanggil pulang GRM Dorojatun, meskipun yang bersangkutan belum menyelesaikan jenjang pendidikannya. Setibanya di tanah air, beliau disambut langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Saat itu pula Sri Sultan menyerahkan kepada GRM Dorojatun Keris Kyai Joko Piturun. Kyai Joko Piturun sebenarnya adalah atribut bagi putra mahkota, sehingga yang mengenakan bisa dianggap sebagai calon penerus tahta. Selang beberapa hari kemudian, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mangkat.

Perjalanan GRM Dorojatun menuju singgasana ternyata tidak mudah. Sebagai bagian dari sejarah Mataram, setiap calon raja baru di Kasultanan Yogyakarta diharuskan untuk menandatangani kesepakatan bersama terlebih dahulu dengan Belanda. Politisi senior Belanda, Dr. Lucien Adam yang berusia 60 tahun harus berdebat panjang dengan GRM Dorojatun yang saat itu usianya baru menginjak 28 tahun. Perdebatan berjalan alot utamanya disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:

  1. GRM Dorojatun tidak setuju jabatan Patih merangkap pegawai kolonial, hal ini agar tidak ada konflik kepentingan.
  2. Beliau juga tidak setuju dewan penasehatnya ditentukan oleh Belanda
  3. Beliau menolak pasukan/prajurit keraton mendapat perintah langsung dari Belanda.

Setelah berbulan-bulan tidak menghasilkan kesepakatan apapun,  GRM Dorojatun tiba-tiba berubah sikap. Hal yang begitu mengherankan diplomat senior Belanda tersebut karena GRM Dorojatun bersedia menerima semua usulan Dr. Lucien Adams. Pada tanggal 12 Maret 1940 kontrak politik dengan Belanda yang berisi 17 bab dan terdiri dari 59 pasal beliau tandatangani. Kontrak tersebut berlaku semenjak GRM Dorojatun naik tahta.

Ketika sebuah negara baru lahir di negeri ini dengan dikumandangkannya proklamasi oleh Soekarno dan Moh. Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX segera mengambil sikap. Dua hari setelah proklamasi, beliau mengirim telegram ucapan selamat kepada para proklamator. Pada tanggal 5 September 1945, beliau bersama Paku Alam VIII, mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia.

Yogyakarta dengan demikian resmi memasuki abad modern, dimana dia bukan lagi sebuah entitas negara sendiri, tetapi bagian dari negara republik. Langkah beliau ini didukung penuh oleh rakyatnya yang di kemudian hari dibuktikan dengan pengabdian total.

Ketika negara yang baru lahir ini menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial Belanda yang datang kembali,  beliau mengundang para tokoh bangsa untuk pindah ke Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan bahwa Yogyakarta siap menjadi ibukota negara Republik yang baru berdiri tersebut.

Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX terhadap republik juga ditunjukkan melalui dukungan finansial. Selama pemerintahan republik berada di Yogyakarta, segala urusan pendanaan diambil dari kas keraton. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri tidak pernah mengingat-ingat berapa jumlah yang sudah dikeluarkan. Bagi beliau hal ini sudah merupakan bagian dari perjuangan. Bahkan beliau memberi amanat kepada penerusnya untuk tidak menghitung-hitung apalagi meminta kembali harta keraton yang diberikan untuk republik tersebut.

Pada tahun 1949 ketika Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran staff kabinet RI harus kembali ke Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan pesan perpisahan dengan sangat berat hati. Ujarnya, “Yogyakarta sudah tidak memiliki apa-apa lagi, silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta”. Sejarah mencatat bahwa perjuangan Indonesia menuju bentuknya saat ini  mengalami fase pasang surut. Di ujung berakhirnya era Orde Lama, ketika Soeharto mengambil alih kendali pemerintahan, kepercayaan negara-negara dunia kepada Indonesia sedang berada di titik terendah. Tak satupun pemimpin dunia yang mengenal Soeharto. Indonesia sebagai negara juga sedang dijauhi karena sikap anti asing yang sangat kuat di era akhir Order Lama. Di saat seperti ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun menyingsingkan lengan bajunya, keliling dunia untuk meyakinkan para pemimpin negara-negara tetangga bahwa Indonesia masih ada dan beliau tetap bagian dari negara itu. Dengan demikian kepercayaan internasional pelan-pelan dapat dipulihkan kembali.

Seiring perjalanan Republik Indonesia sebagai negara, Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah mengabdikan diri dalam berbagai posisi. Selain menjadi pejuang pejuang kemerdekaan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Menteri Negara dari era Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947) hingga Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 s/d 4 Agustus 1949). Di masa kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 s/d 20 Desember 1949) hingga masa RIS (20 Desember 1949 s.d. 6 September 1950) beliau menjabat Menteri Pertahanan. Dan menjadi Wakil Perdana Menteri di era Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d. 27 April 1951).  Beliau masih terus menjabat berbagai jabatan di tiap periode hingga pada tahun 1973 menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang kedua. Jabatan tersebut diemban sampai pada tanggal 23 Maret 1978, ketika beliau menyatakan mengundurkan diri.

Selain berperan di bidang politik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga ditetapkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Khusus mengenai kepanduan ini, beliau menyandang medali Bronze Wolf dari organisasi resmi World Scout Committee (WSC) sebagai pengakuan atas sumbangsih seorang individu kepada kepanduan dunia.

Tepat tanggal 2 Oktober 1988 malam, ketika beliau berkunjung ke Amerika, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghembuskan nafas terakhirnya di George Washington University Medical Center. Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-raja di Imogiri, diiringi oleh lautan massa yang ikut berduka. Berdasar SK Presiden Repulik Indonesia  Nomor 053/TK/Tahun 1990, pada tanggal 30 Juli 1990, atas jasa-jasa beliau kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

 

Sri Sultan Hamengku Buwono VIII

Sri Sultan Hamengku Buwono VIII lahir pada tanggal 3 Maret 1880. Beliau merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas yang diberi nama Gusti Raden Mas (GRM) Sujadi. Setelah dewasa GRM Sujadi bergelar Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puruboyo yang kelak dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Perjalanan GPH Puruboyo sebagai penerus tahta Kasultanan Ngayogyakarta sesungguhnya melalui jalan yang panjang. Sri Sultan Hamengku Buwono VII telah mengangkat putra sulung GKR Hemas, GRM Akhadiyat sebagai putera mahkota. Akan tetapi, tidak lama setelah dinobatkan sebagai putera mahkota, GRM Akhadiyat sakit hingga meninggal dunia. Sri Sultan Hamengku Buwono VII kemudian mengangkat GRM Pratistha sebagai pengganti putera mahkota sebelumnya. Putera mahkota kedua yang juga bergelar Adipati Juminah ini di kemudian hari gelarnya dicabut karena alasan kesehatan. Posisi putera mahkota untuk yang ketiga kali kemudian jatuh kepada GRM Putro. Akan tetapi GRM Putro juga meninggal dunia akibat sakit. Akhirnya, pilihan Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk didudukkan sebagai mahkota jatuh kepada GPH Puruboyo.

 

Ketika tahun 1920 GPH Puruboyo sedang menempuh studi di Belanda, sang ayahanda Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengungkapkan niat untuk lengser keprabon. Mendengar hal ini, Residen Jonquire yang menjadi wakil pemerintah Belanda di Yogyakarta, mengusulkan kepada Gubernur Jendral van Limburg Stirum agar upaya pergantian tahta dipercepat.

 

Dikarenakan posisi GPH Puruboyo masih di Belanda, maka van Limburg Stirum yang menyetujui gagasan tadi memerintahkan Jonquire agar mendesak Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk segera memanggil pulang GPH Puruboyo melalui telegram. Sri Sultan Hamengku Buwono VII menyetujui usulan tersebut dan mengirimkan telegram pada awal November 1920.

Setelah GPH Puruboyo setuju untuk pulang ke Yogyakarta dan dijadikan pengganti ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII memutuskan untuk lereh keprabon (turun tahta) dan beristirahat di Pesanggrahan Ambarukmo. Pada tanggal 8 Februari 1921, GPH Puruboyo kemudian dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

 

Kekayaan keraton yang cukup besar kala itu, dimanfaatkan sebanyak-banyaknya oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII untuk mendorong dunia pendidikan. Seperti ayahandanya, beliau juga mengharuskan putra-putrinya untuk menempuh pendidikan formal setinggi mungkin, bahkan bila perlu hingga ke Negeri Belanda. Perhatian beliau di dunia kesehatan juga sangat besar, misalnya dengan mendukung pengadaan ambulans untuk Rumah Sakit Onder de Bogen (saat ini: Panti Rapih).

 

Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga banyak mengadakan perombakan/rehabilitasi bangunan. Bangsal Pagelaran, Tratag Siti Hinggil, Gerbang Danapratapa dan Masjid Gede adalah beberapa bangunan yang beliau perbaiki.

 

Di dalam lingkungan keluarganya sendiri, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga banyak melakukan terobosan. Hal tersebut terjadi bahkan semenjak sebelum menjadi Sultan. Salah satunya adalah dengan menitipkan anak-anaknya di luar lingkungan keraton. BRM Dorodjatun, yang kelak menjabat sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dari umur 4 tahun sudah dititipkan ke keluarga Belanda. Tidak ada inang atau pengasuh yang menjaga. Pangeran kecil itu dituntut untuk hidup mandiri dan merasakan hidup sebagaimana kebanyakan masyarakat pada umumnya.

 

Pada tahun 1939, beliau memanggil putranya, BRM Dorodjatun yang sedang belajar di Negeri Belanda. Setelah keduanya bertemu di Batavia, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII kemudian menyerahkan pusaka keraton Kyai Joko Piturun kepada BRM Dorojatun. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa BRM Dorojatun telah ditunjuk menjadi penerus tahta sepeninggalnya. Setibanya dari Batavia menjemput BRM Dorojatun tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII wafat pada tanggal 22 Oktober 1939 di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dimakamkan di Astana Saptarengga, Pajimatan Imogiri.

 

Sri Sultan Hamengku Buwono VII

Sri Sultan Hamengku Buwono VII lahir pada tanggal 4 Februari 1839 dengan nama kecil Gusti Raden Mas (GRM) Murtejo. Beliau lahir dari rahim Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Sultan. GKR Sultan merupakan permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VI wafat, GRM Murtejo menggantikan posisi ayahnya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada tanggal 13 Agustus 1877.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII perkembangan industri meningkat dikarenakan adanya Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). Hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya pabrik gula pada waktu itu. Terdapat sekitar 17 pabrik gula berdiri pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Pabrik-pabrik tersebut terdiri dari pabrik milik Kasultanan, swasta maupun milik Belanda.

Gelombang liberalisme semenjak 1870 juga memberi keuntungan bagi Sultan, yaitu dengan dikenalkannya sistem Hak Sewa Tanah untuk masa sewa 70 tahun. Selain itu karena kebutuhan pengangkutan gula, dibangun pula sarana transportasi berupa jalur kereta api serta lori-lori pengangkut tebu. Pembangunan jalur kereta api ini diprakarsai oleh perusahaan swasta Belanda bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Ongkos sewa dari pemakaian jalur ini masuk ke kas keuangan Keraton Yogyakarta. Era Hamengku Buwono VII merupakan masa transisi menuju modernisasi. Banyak sekolah juga didirikan. Beliau juga menyekolahkan anak-anak beliau sampai perguruan tinggi bahkan hingga mengirim mereka ke Negeri Belanda.

 

Pada masa Hamengku Buwono VII, seni tari mulai keluar dari tembok keraton. Beliau mendukung putra-putranya untuk mendirikan sekolah tari gaya Yogyakarta, Krido Bekso Wiromo. Sekolah ini tidak hanya diperuntukkan bagi warga lingkungan keraton semata. Siapapun yang berminat belajar tari gaya Yogyakarta, dipersilakan untuk datang dan mendaftarkan diri di Dalem Tejokusuman. Bentuk dukungan Sri Sultan Hamengku Buwono VII tidak berhenti di sini. Beliau juga mendorong tumbuh kembangnya pentas tari dan wayang, sehingga semenjak akhir 1918 pentas semacam itu semakin marak.

 

Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi besar yang juga lahir dari lingkungan keraton pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII . Raden Ngabei Ngabdul Darwis atau Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah abdi dalem keraton golongan pengulon (pemuka agama).

 

Pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII Tugu Golong Gilig yang hancur akibat gempa pada tahun 1867 direnovasi. Proses renovasi ini melibatkan perancang Belanda bernama YPF van Brussel (pejabat perairan) di bawah pengawasan Patih Danurejo V. Setelah proses perombakan selesai, tugu yang menjadi ikon kota Yogyakarta hingga sekarang itu diresmikan pada tanggal 3 Oktober 1889.

 

 

Sri Sultan Hamengku Buwono VII mempunyai visi jauh ke depan, dengan memberi ruang kepada aktivis-aktivis organisasi politik cikal bakal negara Indonesia. Bangunan Loji Mataram miliknya, terletak di Jl. Malioboro (kini gedung DPRD DIY), dipinjamkan kepada organisasi Budi Utomo untuk menyelenggarakan kongres pertama. Sikap terbuka Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga turut dirasakan oleh umat Islam pada masanya. Beliau mempersilahkan perayaan hari-hari besar keagamaan sesuai dengan kalender Hijriah, namun untuk upacara Garebeg tetap berdasarkan kalender Sultan Agungan.

 

Menjelang pertambahan usia beliau yang ke 81, Sri Sultan Hamengku Buwono VII merasa sudah saatnya turun tahta. Pada tahun 1920, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengemukakan niat tersebut kepada patih Danurejo VII dan kepada pemerintah Hindia Belanda. Beliau sendiri memilih madeg pandhita, dan mesanggrah di pesanggrahan Ambarukmo.

 

Keputusan tersebut sesungguhnya tidak terlepas dari desakan pemerintah Belanda yang ingin menerapkan program reorganisasi agraria. Progam ini dirasa oleh Sultan Hamengku Buwono VII sebagai penyempitan ruang gerak beliau sebagai Sultan. Salah satu isi dari program tersebut adalah penghapusan sistem apanage yang mengembalikan semua tanah menjadi milik raja. Akan tetapi, pasal lain dari program tersebut mengharuskan pengelolaan berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Hasil pengelolaan tanah-tanah tersebut harus disetor melalui lembaga bernama kas daerah (landschapkas), yang mana patih di bawah pengawasan residen menjadi penanggungjawabnya. Sri Sultan Hamengku Buwono VII kemudian menunjuk penggantinya, GRM Sujadi, semata-mata demi terjadinya suksesi yang mulus dan kondisi pemerintahan yang stabil di bawah pengaruh Belanda yang terus mencengkeram.

 

Sri Sultan Hamengku Buwono VI

Sri Sultan Hamengku Buwono VI lahir dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Mustojo pada tanggal 10 Agustus 1821. Beliau adalah putera dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencono. Pada tahun 1839 GRM Mustojo mendapat pangkat Letnan Kolonel dari pemerintah Hindia Belanda. Kelak pangkat beliau naik menjadi Kolonel pada tahun 1847. GRM Mustojo dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VI pada tanggal 5 Juli 1855.

 

Pola pemerintahan yang dilaksanakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VI pada dasarnya melanjutkan model yang dijalankan oleh kakaknya yaitu perang pasif. Hal ini cukup berbeda dengan sikap beliau sebelum naik tahta, dimana beliau cukup keras menentang sikap sang kakak. Sri Sultan Hamengku Buwono VI didampingi oleh Patih Danurejo V yang terkenal pandai dalam hal siasat sehingga banyak masalah pelik dapat terselesaikan.

 

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI terjadi bencana gempa dengan kekuatan dahsyat menggoncang bumi Yogyakarta pada tanggal 10 Juni 1867. Tercatat gempa mengakibatkan sekitar 500 korban jiwa. Selain itu, gempa juga memporak porandakan 327 bangunan termasuk bangunan keraton. Tugu Golog Giling (sekarang Tugu Jogja) yang tadinya menjulang 25 meter juga rusak parah. Demikian juga bangunan Tamansari mengalami kerusakan hebat. Hal yang sama melanda Mesjid Gedhe dan Loji Kecil (sekarang istana kepresidenan Gedung Agung). International Handbook of Earthquake and Engineering Seismology mencatat gempa waktu itu memiliki kekuatan sebesar 6,8 SR.

Pada tanggal 20 Juli 1877 (20 Sawal 1783 TJ), ketika beliau menginjak usia 56 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VI tutup usia. Beliau dimakamkan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri. Sebulan berikutnya, tepatnya tanggal 13 Agustus 1877, putra beliau Raden Mas Murtejo naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

 

Sri Sultan Hamengku Buwono V

Sri Sultan Hamengku Buwono V lahir pada tanggal 20 Januari 1821. Beliau merupakan putera Sri Sultan Hamengku Buwono IV dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencono yang diberi nama Gusti Raden Mas (GRM) Gatot Menol. Tahun 1823, ketika ayahandanya wafat, GRM Gatot Menol diangkat menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono V ketika baru menginjak usia 3 tahun. Tumbuh besar dengan perlakuan khusus antara perasaan iba dan tanggung jawab yang besar seperti itulah yang membentuk karakter beliau menjadi orang yang lemah lembut dan sebisa mungkin menghindari kekerasan.

 

Dikarenakan usia sultan yang masih sangat belia, maka dibentuk dewan perwalian untuk mendampingi tugas-tugas pemerintahan. Anggota dewan perwalian terdiri atas Ratu Ageng (nenek Sultan, yang juga permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono III), Ratu Kencono (ibu Sultan, permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono IV), Pangeran Mangkubumi (putra Sri Sultan Hamengku Buwono II) dan Pangeran Diponegoro. Para wali itu hanya mempunyai wewenang mengawasi keuangan keraton, sedangkan pelaksanaan pemerintahan keraton berada di tangan Patih Danurejo IV yang berada dalam pengawasan residen Belanda. Sama halnya dengan ayah beliau yang didampingi oleh dewan perwalian, Sri Sultan Hamengku Buwono V memegang kendali pemerintahan secara penuh pada tahun 1836 ketika usianya menginjak 16 tahun. Masa kepemimpinannya sempat digantikan sementara oleh kakek buyutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono II pada tahun 1826-1828.

 

Pada saat itu terjadi Perang Jawa akibat perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Banyak hal yang mengusik sang pangeran termasuk semakin banyak tanah-tanah keraton yang disewakan kepada orang Eropa, tingginya pajak yang ditarik dari masyarakat, munculnya wabah kolera, dan kondisi gagal panen yang dipandang sangat menyengsarakan. Ditambah sikap pegawai-pegawai Belanda banyak yang melecehkan keraton dengan memasukkan adat istiadat dan gaya hidup Eropa. Disebut ‘Perang Jawa’ karena Pangeran Diponegoro berhasil mengobarkan perlawanan yang menggerakkan hampir seluruh penduduk berbahasa jawa di Pulau Jawa bagian tengah dan selatan. Semakin besarnya kekuatan Diponegoro didukung pula oleh kelompok Islam yang terdiri atas para santri yang mengabdi di keraton (Suronatan, Suryagama), para pelajar dari pesantren-pesantren di wilayah perdikan, serta kelompok lain yang dibawa oleh Kyai Mojo yang menjadi pasukan Pangeran Diponegoro.

 

Pada tahun 1826 lebih dari 2000 pasukan bantuan datang dari Belanda. Pada tahun 1827 pemerintah kolonial dibawah pimpinan Jenderal De Kock berhasil mengurung Pangeran Diponegoro di wilayah pegunungan sempit antara Sungai Progo dan Sungai Bogowonto di Kabupaten Kulon Progo, Kedu Selatan dan Bagelen Timur. Pasukan Pangeran Diponegoro yang jumlahnya sudah menyusut dapat dikalahkan. Pada tanggal 28 Maret 1830, De Kock dengan segala cara berhasil menangkap Pangeran Diponegoro. Beliau bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang, kemudian dibawa ke Batavia untuk diasingkan di Manado dan berakhir di Makassar hingga beliau wafat pada tanggal 8 Januari 1855.

 

Dengan berakhirnya Perang Jawa, kondisi keamanan di Jawa berangsur lebih stabil. Sri Sultan Hamengku Buwono V kemudian lebih mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintah Hindia-Belanda agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah. Sri Sultan Hamengku Buwono V mengharapkan dengan dekatnya Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada kerja sama yang saling menguntungkan sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara. Selama masa damai di bawah kepemimpinannya pula, Sri Sultan Hamengku Buwono V kemudian lebih mencurahkan perhatiannya ke dalam pengembangan seni dan sastra.

 

Sri Sultan Hamengku Buwono V wafat pada tanggal 5 Juni 1855 (20 Pasa 1783 TJ), dimakamkan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri. Ketika beliau meninggal, permaisuri pertamanya GKR Kencono tidak berputera. Sementara itu, permaisuri kedua GKR Sekar Kedhaton yang sedang hamil belum menunjukkan tanda-tanda kelahiran. Maka dari itu tahta kerajaan kemudian dipegang oleh adik Sri Sultan Hamengkubuwono V, Raden Mas Mustojo, bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono VI.

 

Sri Sultan Hamengku Buwono IV

Sri Sultan Hamengku Buwono IV lahir pada tanggal 3 April 1804 dengan nama kecil Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot. Beliau ditunjuk menjadi putera mahkota saat penobatan ayahnya sebagai sultan pada tanggal 21 Juni 1812. Tidak lama berselang, putra Sri Sultan Hamengku Buwono III dengan permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hageng ini naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV pada tanggal 9 November 1814 ketika usianya masih 10 tahun.

 

Karena usianya yang masih belia, maka pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV didampingi oleh wali raja. Salah satu wali raja yang ditunjuk saat itu adalah Pangeran Notokusumo yang telah bergelar Paku Alam I. Kedudukannya sebagai wali ditentukan hingga sultan mencapai akil baligh di usia 16 tahun pada 1820.

 

Kedekatan Pangeran Diponegoro dengan adiknya (Sri Sultan Hamengku Buwono IV) digambarkan seperti Kresna yang mengajari Arjuna. Ketika sang raja dikhitan pada tanggal 22 Maret 1815, Pangeran Diponegoro sendiri yang menutupi mata adiknya dengan kedua belah tangannya. Kemudian, dalam Kitab Kedung Kebo dan Babad Ngayogyakarta disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro sangat memperhatikan pendidikan sang raja. Pangeran Diponegoro menemui sultan belia untuk menceritakan kisah-kisah budi pekerti dari kitab Fatah Al-Mulk dan Raja-Raja khayali Arab maupun Syiria. Sang pangeran juga sering membacakan naskah-naskah penting seperti Serat Ambiya, Tajus Salatin, Hikayat Makutha Raja, Serat Menak, Babad Keraton, Arjuna Sasrabahu, Serat Bratayudha, dan Rama Badra.

 

Kedekatan Pangeran Diponegoro dengan keraton mulai renggang ketika Patih Danurejo IV semakin menancapkan pengaruhnya di Kasultanan Yogyakarta. Patih Danurejo IV mendukung sistem sewa tanah untuk swasta, praktek yang mengakibatkan kesengsaraan bagi penduduk kasultanan. Belum pernah sebelumnya pengusaha-pengusaha Eropa menjalankan usaha perkebunan yang besar seperti kopi dan nila hingga pada masa tersebut. Selain itu, Patih Danurejo IV juga menempatkan saudara-saudaranya di posisi-posisi strategis. Puncaknya ketegangan antara Pangeran Diponegoro dengan Patih Danurejo IV terjadi tatkala Garebeg Sawal pada tanggal 12 Juli 1820. Di hadapan Sultan yang sudah mulai berkuasa secara mandiri itu, Pangeran Diponegoro mencela Patih Danurejo IV yang telah menyewakan tanah kerajaan di Rejowinangun.

 

Hanya berselang dua tahun sejak menjalankan pemerintahan secara mandiri, Sri Sultan Hamengku Buwono IV meninggal dunia pada tanggal 6 Desember 1823 saat masih berusia 19 tahun. Sri Sultan Hamengku Buwono IV dimakamkan di Astana Besiyaran Pajimatan, Imogiri. Dari pernikahannya dengan sembilan orang istri, Sri Sultan Hamengku Buwono IV mendapat 18 orang anak. Namun hampir sepertiga dari anak-anaknya meninggal ketika masih kecil. Yang menjadi penerus kemudian adalah puteranya dari permaisuri GKR Kencono, Gusti Raden Mas Gatot Menol, yang masih berusia 3 tahun.

 

Sri Sultan Hamengku Buwono III

Sri Sultan Hamengku Buwono III memiliki nama kecil Raden Mas (RM) Surojo, lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Beliau adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kedhaton. Dalam biografi Tan Jin Sing disebutkan bahwa beliau adalah orang yang pendiam dan cenderung mengalah. Pada bulan Desember 1810 terjadi manuver pasukan Belanda ke Keraton Yogyakarta sebagai buntut perseteruan antara Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan Letnan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Akibat dari perseteruan ini, Sri Sultan Hamengku Buwono II dilengserkan dari jabatannya oleh pemerintah kolonial Belanda dan digantikan oleh beliau.

 

  1. Surojo diangkat sebagai Hamengku Buwono III dengan pangkat regent atau wakil raja. Sementara itu, Sri Sultan Hemengku Buwono II masih tetap diizinkan oleh Belanda untuk tinggal di dalam keraton dengan sebutan Sultan Sepuh.

 

Pada tanggal 28 Desember 1811, Inggris berhasil mengalahkan bala tentara Belanda dan merebut tanah Jawa. Sri Sultan Hamengku Buwono III dilengserkan dari statusnya dan kembali menjadi putra mahkota. Sri Sultan Hamengku Buwono II (ayah beliau) kemudian kembali naik tahta.

 

Pada awalnya Inggris mengakui Sri Sultan Hamengku Buwono II sebagai penguasa sah Kasultanan Yogyakarta. Namun hal ini hanya berselang kurang dari setahun karena sikap keras Sri Sultan Hamengku Buwono II menjadikan Raffles mencabut dukungannya. Pada tanggal 21 Juni 1812, Sri Sultan Hamengku Buwono II dilengserkan sehingga RM. Surojo disahkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono III untuk yang kedua kali.

 

Sejak kedatangan Inggris, peta geopolitik Kasultanan Yogyakarta berubah drastis. Pada waktu itu Kasultanan Yogyakarta harus melepaskan wilayah-wilayahnya seperti Kedu, Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan untuk dikuasai Inggris dengan ganti rugi sebesar 100.000 real per tahun. Pada masa ini pula, Kasultanan Yogyakarta harus menyerahkan 4000 cacah wilayah Adikarto (Kulonprogro) kepada Pangeran Notokusumo yang kemudian menjadi pangeran merdika (otonom) di dalam Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam I (1813-1829). Selain itu, Sultan juga harus menyerahkan 1000 cacah lagi wilayahnya kepada Kapiten Cina Tan Jin Sing atas bantuan yang diberikan selama Sri Sultan Hamengku Buwono III masih berkedudukan sebagai putera mahkota. Kelak Sri Sultan Hamengku Buwono III mengangkat Tan Jin Sing menjadi Bupati Yogyakarta dan memberinya gelar KRT Secadiningrat.

 

Perubahan penting lainnya yang terjadi akibat campur tangan Inggris pada kurun waktu ini adalah terkait prajurit keraton. Inggris melarang para raja memiliki kekuatan militer apapun selain yang diijinkan oleh pemerintah kolonial. Sebagai gantinya, pasukan Inggris dan Sepoy menjadi resimen utama pengamanan istana. Akibatnya sebanyak lebih dari 9000 prajurit keraton, termasuk yang dari Bugis dan Bali, hidup menderita. Banyak diantara mereka yang kemudian dimobilisasi oleh Inggris untuk bekerja di perkebunan-perkebunan milik kolonial di luar Jawa.

 

Pada tanggal 3 November 1814, Sri Sultan Hamengku Buwono III wafat pada usia 45 tahun. Beliau dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan, Imogiri. Masa pemerintahannya tercatat hanya berlangsung selama 865 hari. Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot, anak bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono III dari GKR Kencono (Ratu Ibu, pasca 1816; Ratu Hageng, pasca 1820), yang telah diangkat sebagai putra mahkota menjadi penerus ayahnya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV pada usia 10 tahun.

Sri Sultan Hamengku Buwono II

Sri Sultan Hamengku Buwono II lahir pada tanggal 7 Maret 1750 dari permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono I. Nama kecil beliau adalah Raden Mas (RM) Sundoro. Masa kecilnya dilalui bersama ibunda, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kadipate di wilayah pengungsian akibat perang melawan VOC. Situasi tersebut kelak membentuk karakter yang keras pada diri Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Setelah perjanjian Giyanti keluarga besar Sri Sultan Hamengku Buwono I pindah ke Keraton Yogyakarta sehingga RM. Sundoro mulai tinggal di dalam keraton dengan status putera raja. Semenjak itu pula kecintaan dan kepercayaan Sri Sultan Hamengku Buwono I kepada RM. Sundoro meningkat. Pada tahun 1758 ketika RM. Sundoro dikhitan, beliau diangkat menjadi putra mahkota.

Ketika RM. Sundoro beranjak dewasa, Sri Sultan Hamengku Buwono I berniat menjodohkannya dengan puteri keraton Kasunanan Surakarta. Melalui pernikahan tersebut, Sultan Hamengku Buwono I sebenarnya masih menyimpan keinginan untuk menyatukan Kerajaan Mataram yang telah terpecah. RM. Sundoro kemudian berkunjung ke Surakarta pada tahun 1763 dan 1765. Akan tetapi upaya perjodohan ini gagal karena Puteri Paku Buwono III menikah dengan putera Adipati Mangkunegoro I. Pada akhirnya perkembangan masing-masing kerajaan (Yogyakarta dan Surakarta) menjadi sulit untuk disatukan kembali.

Pada masa muda RM. Sundoro hubungan Keraton Yogyakarta dengan Surakarta mengalami ketegangan. Faktor pemicunya adalah batas wilayah yang tidak jelas di antara dua kerajaan tersebut. Jalan damai yang diupayakan melalui jalur pernikahan antara dua kerajaan tidak membuahkan hasil. Pada tanggal 26 April 1774 disusun perjanjian Semarang atas prakarsa VOC. Perjanjian ini memberi batasan tegas pembagian wilayah sebagai upaya mencegah konflik terulang kembali. RM. Sundoro melihat Perjanjian Giyanti maupun Perjanjian Semarang membuat kekuasaan dan wilayah raja-raja Jawa semakin sempit. Kedua perjanjian itu lebih menguntungkan VOC karena wilayah kekuasannya justru mengalami perluasan. Tekanan dari VOC juga semakin meningkat ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I maupun Sunan Paku Buwono III mulai menunjukkan gejala kemerosotan kesehatan.

Ketidaksenangan beliau kepada VOC semakin membesar. Hal ini membuat Sri Sultan Hamengku Buwono I semakin sayang dan menaruh harapan besar agar RM. Sundoro mampu mempertahankan dan melindungi Yogyakarta dari rongrongan bangsa asing. Hal ini diwujudkan dengan membuat perayaan atas penetapkan RM. Sundoro sebagai calon pewaris tahta pada tahun 1785. Peristiwa ini menurut beberapa sejarawan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk mengabadikan pergantian abad Tahun Jawa (1700) yang biasanya ditandai dengan peristiwa penting di bumi Jawa.

Dengan status sebagai calon pewaris sah tersebut, RM Sundoro mulai melakukan gerakan-gerakan perubahan di dalam keraton dan berupaya melindungi Keraton Yogyakarta terhadap ancaman VOC. Beliau berupaya menggagalkan pembangunan Benteng Rustenburg inisiatif Komisaris Nicholas Hartingh sejak tahun 1765 dengan cara mengerahkan pekerja dari keraton untuk membangun tembok baluwarti mengelilingi alun-alun utara dan selatan. Untuk meningkatkan pertahanan, sebanyak 13 meriam ditempatkan di bagian depan keraton menghadap ke arah benteng Belanda tersebut.

Sikap anti Belanda ini semakin besar setelah penobatannya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono II pada tanggal 2 April 1792. Beliau menolak tegas permintaan wakil VOC yang menuntut disejajarkan posisi duduknya di setiap acara pertemuan dengan sultan. Selain itu, tanpa melibatkan VOC Sri Sultan Hamengku Buwono II menunjuk sendiri patihnya untuk menggantikan Danurejo I yang meninggal dunia pada Agustus 1799.

Terjadi banyak peristiwa penting pada periode awal abad ke-19. Sebagai sebuah perusahaan dagang, VOC bangkrut dan dibubarkan. Pada saat yang hampir bersamaan, Kerajaan Belanda jatuh ke tangan Napoleon dari Perancis. Bekas wilayah yang dikuasai VOC kemudian dikendalikan di bawah pemerintah kolonial. Pada tanggal 14 Januari 1808, Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di bawah kendali Perancis dan menggantikan posisi pimpinan sebelumnya yang dipegang oleh Albertus Henricus Wiese.

Daendels membuat perubahan mendasar yang menjadikan seluruh kerajaan di bekas jajahan VOC sebagai bawahan dari Kerajaan Belanda. Oleh karena itu ia mengharuskan Raja Jawa tunduk kepada Raja Belanda. Daendels juga mengeluarkan aturan bahwa hak pengelolaan hutan harus berada di bawah pemerintah kolonial.

Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan tegas menolak semua tatanan baru tersebut. Hingga di kemudian hari Daendels sendiri datang ke Yogyakarta membawa sekitar 3300 pasukan untuk menekan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Akibat dari tekanan tersebut, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta dan digantikan oleh putra mahkotanya RM. Surojo sebagai Hamengku Buwono III pada tanggal 31 Desember 1810.

Hamengku Buwono III diharuskan menandatangani kontrak dengan Belanda dengan syarat-syarat yang memberatkan. Namun perjanjian yang ditandatangani pada Januari 1811 ini tidak sempat dilaksanakan karena Inggris datang dan memukul mundur Belanda. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II untuk mengambil kembali tahtanya. Beliau menurunkan status Hamengku Buwono III kembali ke posisi sebelumnya dan mengeksekusi Patih Danurejo II yang terbukti bersekongkol dengan Daendels.

Sri Sultan Hamengku Buwono II kembali berhadapan dengan bangsa asing (Inggris). Di bawah pimpinan Thomas Stamford Raffles, Keraton Yogyakarta diserang oleh prajurit Sepoy asal India pada tanggal 20 Juni 1812. Akibat gempuran tersebut keraton berhasil diduduki Inggris. Harta benda termasuk ribuan karya sastra Jawa dijarah. Sri Sultan Hamengku Buwono II ditangkap dan kemudian diasingkan ke Pulau Pinang hingga tahun 1815.

Kembalinya Sri Sultan Hamengku Buwono II dari pengasingan ke Pulau Jawa pada tahun 1815 tidaklah lama. Setelah penyerahan kembali jajahan Belanda oleh Inggris pada tanggal 9 Agustus 1816, Belanda segera membahas posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II yang dianggap sebagai ancaman besar. Maka pada tanggal 10 Januari 1817 Sri Sultan Hamengku Buwono II dibuang ke Ambon.

Pengganti beliau, Sri Sultan Hamengku Buwono III meninggal. Sri Sultan Hamengku Buwono III kemudian digantikan putranya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Tidak bertahta cukup lama, Sri Sultan Hamengku Buwono IV meninggal dan kemudian digantikan oleh putranya yang masih belia sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono V. Saat itulah kemudian menyusul perlawanan terbesar sepanjang sejarah pemerintahan Kolonial Belanda yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang disebut Java Oorlog (Perang Jawa). Sri Sultan Hamengku Buwono II akhirnya dipulangkan ke Yogyakarta dan mengangkat kembali dirinya sebagai sultan untuk yang ketiga kalinya pada tanggal 20 September 1826.

Pada periode kepemimpinannya yang ketiga ini, usia senja membuat kesehatan Sri Sultan Hamengku Buwono II menurun drastis. Pada tanggal 3 Januari 1828 (15 Jumadilakir 1755), Sri Sultan Hamengku Buwono II mangkat karena sakit. Beliau dimakamkan di Kotagede karena pada saat itu sedang berkecamuk Perang Jawa sehingga tidak memungkinkan untuk diadakan prosesi hingga Makam Raja-Raja di Imogiri.

Sri Sultan Hamengku Buwono I

Sri Sultan Hamengku Buwono I merupakan pendiri Keraton Yogyakarta. Beliau lahir pada tanggal 5 Agustus 1717 dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Sujono. BRM Sujono merupakan putra Sunan Amangkurat IV melalui garwa selir yang bernama Mas Ayu Tejawati. Sebagai peletak dasar budaya Kerajaan Mataram, beliau memberi warna tidak hanya bagi lingkungan keraton tetapi seluruh masyarakat Yogyakarta.

BRM Sujono dikenal sangat cakap dalam olah keprajuritan. Beliau mahir berkuda dan bermain senjata. BRM Sujono juga dikenal taat beribadah sembari tetap menjunjung tinggi budaya luhur Jawa.

Ketika paman beliau yang bernama Mangkubumi meninggal pada tanggal 27 November 1730, BRM Sujono lalu diangkat menjadi Pangeran Lurah, yaitu pangeran yang dituakan di antara para putera raja. Ketika sudah dewasa, beliau juga menyandang nama yang sama dengan pamannya yakni Mangkubumi. BRM Sujono kemudian lebih dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi.

Mengenai ketaatan beribadah BRM Sujono (Pangeran Mangkubumi) secara rinci dikisahkan dalam Serat Cebolek. Disitu digambarkan mengenai kebiasaan beliau puasa Senin-Kamis, sholat lima waktu dan juga mengaji Al Quran. Dalam Serat Cebolek dikisahkan bahwa beliau gemar mengembara dan mengadakan pendekatan dengan masyarakat serta memberikan pertolongan kepada yang lemah.

Sifat beliau ini menghasilkan kesetiaan yang mendalam di antara pengikut-pengikutnya. Ketika mengangkat senjata melawan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1746, Pangeran Mangkubumi memiliki pengikut sebanyak kurang lebih 3000 prajurit. Pada tahun 1747 jumlahnya meningkat pesat menjadi 13000 prajurit, dimana diantaranya terdapat 2500 prajurit berkuda. Kesetiaan dan kesediaan mengikuti beliau ini kemudian meluas hingga ke masyarakat umum pada tahun 1750.

Pada tahun 1740 adalah masa-masa berat bagi Kerajaan Mataram. Pemberontakan merajalela, dimulai dengan Geger Pacina yang dipimpin oleh Sunan Kuning dan Pangeran Sambernyawa. Sehingga mengakiatkan keraton harus berpindah dari Kartasura ke Surakarta pada tanggal 17 Februari 1745.

Untuk memadamkan pemberontakan Sambernyawa, Raja Mataram saat itu Susuhunan Paku Buwono II mengadakan sayembara yang disambut oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi kemudian bermaksud untuk mengendalikan pesisir utara Jawa sebagai langkah mengurangi pengaruh VOC di bumi Mataram. Akan tetapi akibat penghianatan yang dilakukan oleh Patih Pringgoloyo yang didukung VOC, langkah Pangeran Mangkubumi menemui jalan buntu.

Atas dasar peristiwa tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian memutuskan untuk keluar dari keraton Mataram dan memulai serangan terbuka terhadap VOC. Keputusan tersebut mendapat dukungan dari Pangeran Sambernyawa. Bersama Sambernyawa, Pangeran Mangkubumi berhasil membebaskan beberapa daerah dari cengkeraman VOC.

Pada akhir tahun 1749 kondisi kesehatan Paku Buwono II semakin menurun. Belanda memanfaatkan kondisi ini sehingga muncul traktat yang berisi penyerahan Kerajaan Mataram seluruhnya kepada VOC pada tanggal 16 Desember 1749. Paku Buwono II wafat dan kemudian digantikan oleh puteranya Paku Buwono III. Mengetahui adanya kesepakatan tersebut, maka Pangeran Mangkubumi dan Sambernyawa semakin sengit bertempur. Akibatnya, VOC semakin terdesak dan pasukannya banyak yang tewas. Hanya dalam hitungan bulan, hampir seluruh wilayah Kerajaan Mataram sudah berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi.

Kegagalan menghadapi perjuangan Pangeran Mangkubumi ini mengakibatkan Gubernur Jawa Utara, Baron van Hohendroff mengundurkan diri. Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang berkedudukan di Batavia juga turut merasakan tekanan atas kekalahan tersebut. Dia kemudian jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia sehingga digantikan oleh Nicholas Hartingh.

Perubahan kepemimpinan VOC ini membawa perubahan dalam corak penyelesaian masalahnya. Nicholas Hartingh kemudian mendapat ide bahwa untuk menyelesaikan masalah ini hanya bisa didapat dengan cara mendekati Pangeran Mangkubumi dan menawarkan jalan perdamaian. Nicholas Hartingh lalu mengutus seorang keturunan Arab, Syekh Ibrahim atau lebih dikenal dengan Tuan Sarip Besar untuk menawarkan jalan perundingan kepada Pangeran Mangkubumi.

Pada tanggal 23 September 1754, pertemuan antara Nicholas Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi membuahkan hasil. Kesepakatan yang diperoleh merupakan rancangan awal perjanjian yang kemudian dikenal sebagai Palihan Nagari. Hasil kesepakatan ini disampaikan kepada Gubernur Jenderal dan Paku Buwono III. Butir-butir kesepakatan tersebut dituangkan dalam naskah Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755.

Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, babak awal Kasultanan Yogyakarta dimulai. Pada Kemis Pon, 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ) Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai raja pertama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Dalam Babad Nitik Ngayogya, digambarkan mengenai kebijaksanaan dan kearifan Sultan Hamengku Buwono I. Dalam menentukan posisi Keraton Yogyakarta beliau mempertimbangkan letak dan keadaan lahan agar berpotensi mensejahterakan dan memberi keamanan untuk penduduk Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta yang berdiri kokoh hingga saat ini menempati posisi yang sangat strategis. Terdapat batas-batas alam berupa Kali Code di sebelah timur dan Kali Winongo di sebelah barat. Di sebelah utara dibatasi oleh Gunung Merapi, sementara di selatan berbatasan dengan pantai Laut Selatan. Arsitektural Keraton Yogyakarta sendiri sepenuhnya dirancang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I yang juga merupakan arsitek Keraton Surakarta. Selain kompleks keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono I juga membangun kompleks istana air Taman Sari.

Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I bagi Yogyakarta begitu besar. Beliau mencetuskan konsep Watak Satriya seperti: Nyawiji (konsentrasi total), greget (semangat jiwa), sengguh (percaya diri) dan ora mingguh (penuh tanggung jawab). Sri Sultan Hamengku Buwono I wafat pada tanggal 24 Maret 1792 dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri.

mengenal-taktik-perang-gerilya-jenderal-sudirman-yang-buat-pasukan-belanda-ketar-ketir-RpMWABTzck

Biografi Singkat Jenderal Soedirman

Jenderal Soedirman lahir pada 24 Januari 1916 di Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Beliau lahir dari pasangan Siyem dan Karsid Kartoworidji. Ayah Soedirman tersebut bekerja di pabrik gula milik Pemerintahan Hindia Belanda di Kalibogor, Banyumas. Akan tetapi sejak kecil Soedirman diurus dan tinggal di rumah asisten wedana bernama Tjokrosoenarjo dan istrinya yang bernama Toeridowati.Sejak lahir, beliau memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan Tjokrosoenarjo dan Toeridowati. Istri Tjokrosoenarjo adalah kakak kandung ibunda Soedirman. Sejak Soedirman masih di dalam kandungan, Tjokrosoenarjo sudah meminta izin kepada Siyem agar kelak bisa merawatnya.

Jenderal Soedirman

Ketika Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari jabatannya. Tjokrosoenarjo kemudian memboyong keluarganya termasuk Soedirman dan orang tuanya untuk pindah ke sebuah rumah sederhana di Kampung Kemanggisan, Kelurahan Tambakreja, Cilacap, Jawa Tengah.Sejak masa anak-anak penampilan dan kepribadian Soedirman tidak lepas dari lingkungan keluarga tempat beliaudibesarkan. Dalam diri Soedirman terjadi perpaduan budaya wong cilik dan priyayi. Soedirman yang merupakan keturunan wong cilik (Karsid Kartoworidji) diangkat anak oleh priyayi (Tjokrosoenarjo). Ayah Soedirman meninggal dunia ketika beliau berusia enam tahun. Meskipun Soedirman diangkat anak oleh Tjokrosoenarjo, beliau biasa melakukan pekerjaan wong cilik seperti mencuci piring dan mengisi bak mandi. Sedangkan ibu angkatnya mengajarkan Soedirman berbagai budi pekerti, adat istiadat, sopan santun, dan menghargai akhlak yang luhur. Ayah angkatnya juga berperan dalam pembentukan diri Soedirman melalui kisah kesatria dalam dunia pewayangan sehingga menumbuhkan sikap kesatria yang disiplin dan pemberani kepada Soedirman.

Soedirman kemudian memasuki masa sekolah pada tahun 1923. Karena status Tjokrosoenarjo yang merupakan mantan aisten wedana, Soedirman bisa memperoleh pendidikan formal di HIS(Hollandsch-Inlandsche School, setingkat sekolah dasar) pada usia tujuh tahun. Di sekolah milik pemerintah tersebut beliau dikenal sebagai murid yang rajin dan disiplin.Di sekolah ini Soedirman menemukan kegemarannya yaitu sepak bola. Soedirman kemudian menjadi bintang lapangan pada masa itu.Di dalam kelas beliau dikenal sebagai sosok yang pandai. Karena tekun pada pelajaran agama, Soedirman kemudian diberi julukan Kaji atau Haji oleh teman-temannya. Soedirman juga dikenal luwes sehingga bisa berkawan dan menempatkan diri di antara senior ataupun juniornya. Beliau juga mengurusi organisasi intrasekolah Putra-Putri Wiworotomo.

Soedirman lulus HIS pada tahun 1930. Beliau kemudian meneruskan sekolah di MULO Wiworotomo Cilacap (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setara dengan sekolah menengah pertama). Bersekolah di MULO merupakan tahapan penting bagi Soedirman. Di sekolah itulah ia mendapatkan pendidikan nasionalisme dari para guru yang kebanyakan aktif di organisasi Boedi Oetomo, seperti Raden Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono.Di sekolah tersebut, Soedirman lebih berkembang dan cara berpikirnya juga lebih matang dan dewasa dibandingkan dengan teman teman lainnya. Hal ini menjadikan Soedirman menjadi tempat bertanya bagi teman-temannya ketika ada kesulitan sehingga Soedirman dikenal sebagai pembantu guru atau guru kecil.

Sikap tanggung jawab dan menyenangi berbagai kegiatan organisasi sudah terlihat dalam diri beliau ketika bersekolah di MULO Wiworotomo. Saat itu, Soedirman aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Wiworotomo dan di dalam dunia kepanduan. Pada awalnya Soedirman mengikuti kepanduan Bangsa Indonesia yang ada di Cilacap, namun ia beralih ke organisasi kepanduan milik gerakan Muhammadiyah yang terkenal dengan nama Hizboel Wathan (HW). Gerakan kepanduan di Indonesia muncul pada masa kolonial Belanda karena saat itu di Belanda berkembang organisasi kepanduan Nederlandsch Padvinders Organisatie (NPO) sehingga berpengaruh terhadap organisasi kepanduan yang ada di Hindia Belanda (Indonesia). Wawasan dan pengetahuan islam, kedisiplinan, kejujuran, kesederhanaan, kemandirian dan kesetiakawanan membuat Soedirman menjadi anggota HW yang disegani kawan kawannya. Beliau kemudian lulus dari MULO pada tahun 1935.

Ketika ada pemilihan pimpinan HW Banyumas, Soedirman terpilih menjadi ketua. Disisi lain, beliau juga aktif di Pergerakan Muhammadiyah. Setelah lulus dari MULO pada tahun 1935 beliau melanjutkan pendidikannya ke HIK Muhammadiyah Surakarta. Akan tetapi tidak sampaitamat karena Soedirman dijadikan guru yang aktif mengajar di HIS Muhammadiyah Cilacap pada tahun 1936. Beliau ingin mendidik generasi anak bangsa agar mereka memiliki derajat yang sama dengan bangsa bangsa lain termasuk dengan Belanda. Hal tersebut juga sudah terlihat ketika Soedirman sekolah di Wiworotomo ketika teman temannya memberinya sebutan guru kecil. Soedirman disenangi oleh murid muridnya karena  kemampuan dalam menyampaikan materi dan juga pengetahuannya yang luas terutama dalam ilmu pengetahuan sosial, Bahasa Belanda dan pengetahuan Agama. Cara mengajar Soedirman juga tidak monoton, terkadang sambil bercanda serta diselingi pesan agama dan nasionalisme. Beliau juga sering mengambil kisah-kisah pewayangan ketika mengajar di HIS Muhammadiyah Cilacap. Ketika Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942, Soedirman mengajar di HIS Muhammadiyah Cilacap sampai dengan tahun 1944. Setelah itu, beliau mengikuti pelatihan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor yang dibentuk oleh Jepang. Beliau kemudian menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas.

Kata terkait:

jenderal soedirman film, jenderal sudirman wafat, jendral sudirman biografi, biografi singkat jenderal sudirman, kesaktian jenderal sudirman, sejarah jendral sudirman, didi sutjiati, anak jendral sudirman,