Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi militer kedua dengan meyerang ke ibu kota Yogyakarta. Serangan tersebut dilancarkan ke beberapa objek penting seperti Istana Kepresidenan dan bandara Maguwo. Sasaran utamanya adalah menangkap para pejabat tinggi Republik Indonesia yaitu Presiden Soekarno, Wakil Presiden Muhammad Hatta dan para menteri. Mereka kemudian diasingkan ke luar Jawa. Presiden Soekarno lalu menunjuk pejabat untuk mengisi kekosongan tersebut yakni Syarifuddin Prawiranegara untuk mendirikan pemerintahan darurat Republik Indonesia di Bukit Tinggi.
Markas Jenderal Soedirman dan tentara Indonesia yang berada di Yogyakarta telah dikuasai oleh militer Belanda sehingga mereka memilih untuk keluar Yogyakarta. Jenderal Soedirman terus memantau kondisi kota Yogyakarta dari luar dan melakukan perang gerily
a terhadap Belanda. Jenderal Soedirman juga tetap berkomunikasi dengan pejabat di ibu kota Yogyakarta melalui kurir rahasia. Jatuhnya ibu kota Yogyakarta ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk memperluas hegemoninya pada dunia Internasional dengan mengatakan bahwa Pemerintah Republik sudah hancur semenjak Soekarno dan pejabat tinggi lainnya ditangkap dan kemudian diasingkan ke luar Jawa.
Munculnya siaran berita mengenai sidang Dewan Keamanan PBB yang akan diadakan pada akhir Februari 1949, dapat didengar oleh Sultan Hamengku Buwono IX lewat radio di dalam keraton Yogyakarta. Sebagai satu-satunya pemimpin di Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono IX menyadari bahwa semangat tentara dan rakyat Indonesia kian merosot. Sultan Hamengku Buwono IX berinisiatif untuk melakukan serangan besar-besaran kepada Belanda agar membangkitkan moral tentara dan rakyat.
Sultan HamengkuBuwono IX segera mengirimkan kurir untuk menghubungi Jenderal Soedirman yang bergerilya di hutan-hutan. Peranan kurir sangat penting kala itu mengingat ruang gerak Sultan Hamengku Buwono yang dibatasi oleh Belanda. Setelah mendapat persetujuan Jenderal Soedirman, Sri Sultan hamengku Buwono IX kemudian mengundang Letkol Suharto untuk bertemu langsung di Keraton Yogyakarta tanggal 13 Februari 1949. Letkol Suharto memakai pakaian abdi dalem sebelum bertemu Sultan Hamengku Buwono IX agar dapat menyelinap masuk dan tidak dicurigai musuh. Pertemuan tersebut berlangsung pada tengah malam serta membahas rencana serangan dan menanyakan kesanggupan Letkol Suharto untuk mempersiapkan serangan dalam waktu dua minggu.
Kurang lebih empat bulan setelah Agresi Militer Belanda dilancarkan, Jenderal Sudirman dan tentara Indonesia sudah siap dengan serangan besarnya. Serangan-serangan terhadap Belanda akan segera dimulai. Sasarannya adalah memutuskan kawat-kawat telepon, merusak jalan kereta api, dan menyerang konvoi-konvoi Belanda. Pada malam hari menjelang serangan umum 1 Maret, pasukan-pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pada pagi hari tanggal 1 Maret 1949 pukul 06.00, bersamaan dengan bunyi sirene tanda jam malam berakhir, pasukan gerilya serentak ke luar dari kedudukannya. Dengan tekad yang membara dan semangat yang tinggi mereka bergerak menyerbu sasaran yang telah ditentukan. Pos-pos Belanda di Tugu, Gondolayu, Benteng Vrederburg, dan Ngupasan diserbu secara serentak. Hal ini mengejutkan tentara Belanda karena serangan yang mendadak.
Serangan secara besar-besaran yang serentak dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan di Solo juga dilakukan guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta. Tepat pada 1 Maret 1949, saat sirine penanda jam malam berakhir dibunyikan, pasukan gerilya Indonesia menyerang pasukan Belanda. Letkol Soeharto sebagai komandan serang an ini masuk ke dalam kota melalui arah barat. Dalam waktu satu jam, Letkol Soeharto sudah memasuki jalan utama Yogyakarta, yakni Malioboro dan secara langsung pula memimpin pasukan-pasukan di bagian barat. Pada pukul 12.00 dari arah utara datang bantuan pasukan Belanda. Bantuan tersebut datang dari Magelang berupa dua Batalion KNIL. Secara perlahan dalam waktu satu
jam, tentara Indonesia mundur dan meninggalkan Yogyakarta. Pada umumnya mereka meninggalkan Yogyakarta ke arah selatan dan ke arah barat melewati Sungai Winongo.
Sementara itu di Playen Gunung Kidul, tentara Indonesia mengirimkan morse kepada pemerintah di Bukit Tinggi mengenai serangan besar tersebut sehingga sampai ke Burma, India, dan berakhir di New York, markas besar PBB. Maka tercenganglah dunia atas kebohongan Belanda sehingga tahu bahwa Republik Indonesia masih ada dan masih dalam kondisi yang kuat. Tentara Indonesia dengan keberhasilannya mampu menarik simpati dunia akan perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga memperlancar usaha diplomasi Indonesia untuk mendapat pengakuan kedaulatan.